Gallery

BELAJAR MATEMATIKA DAN RAHASIA DI DALAMNYA (POWER POINT)

Oleh : Midiriyanto         Hupzz, akhirnya selesai juga presentasi ini. Bagi yang pengen banget belajar matematika dengan cara yang mudah dan menyenangkan, gua saranin baca presentase ini deh. GRATIS KOK. Ini emang didedikasiin ke loe-loe, yang lagi puyeng ama pelajaran … Continue reading

By midiictigcsegoblog

MIDI GANG ANAK IMUT

Nama            : Midiriyanto

Tema Essay : Idea of Recovering The World from The Word

INDONESIA HARUSNYA MENGGALAU

RANAH PAPUA DI ZONA MERAH ?

            Tanda tanya dua koma, itulah simbol yang seharusnya diletakkan di bagian akhir cerita penuh duka lara, perjuangan mendapatkan kemerdekaan hingga puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanda tanya ini harusnya menjadi momok besar bagi tiap lini bangsa Indonesia, menjadi cermin tentang apa yang sebenarnya terjadi, menjadi gambaran bahwa yang kita lihat sekarang ini bukanlah sebenarnya yang seperti apa yang kita rasakan. Bangsa Indonesia terlalu sayup dalam hembusan angin surga hingga terlelap entah ke dimensi mana. Bangsa Indonesia terlalu bahagia hingga tidak sadar bahwa sebenarnya kesedihanlah yang sebenarnya mereka rayakan. Bangsa Indonesia sekarang terlalu bangga dengan kemerdekaan yang sebenarnya didapat oleh moyang mereka, dengan sama sekali tidak melibatkan tangan bersih nan suci para pemuda Indonesia sekarang. Bangsa Indonesia terlalu bangga dengan kemerdekaan yang disimbolkan sebagai jembatan…

View original post 1,670 more words

By midiictigcsegoblog

Buka Mata Anda!

Nama            : Midiriyanto

Tema Essay : Idea of Recovering The World from The Word

INDONESIA HARUSNYA MENGGALAU

RANAH PAPUA DI ZONA MERAH ?

            Tanda tanya dua koma, itulah simbol yang seharusnya diletakkan di bagian akhir cerita penuh duka lara, perjuangan mendapatkan kemerdekaan hingga puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanda tanya ini harusnya menjadi momok besar bagi tiap lini bangsa Indonesia, menjadi cermin tentang apa yang sebenarnya terjadi, menjadi gambaran bahwa yang kita lihat sekarang ini bukanlah sebenarnya yang seperti apa yang kita rasakan. Bangsa Indonesia terlalu sayup dalam hembusan angin surga hingga terlelap entah ke dimensi mana. Bangsa Indonesia terlalu bahagia hingga tidak sadar bahwa sebenarnya kesedihanlah yang sebenarnya mereka rayakan. Bangsa Indonesia sekarang terlalu bangga dengan kemerdekaan yang sebenarnya didapat oleh moyang mereka, dengan sama sekali tidak melibatkan tangan bersih nan suci para pemuda Indonesia sekarang. Bangsa Indonesia terlalu bangga dengan kemerdekaan yang disimbolkan sebagai jembatan emas, tanpa tahu ujung dari jembatan yang dibangga-banggakan tersebut. Bangsa Indonesia terlalu bangga dengan kemerdekaan semu yang sebenarnya salah kaprah jika dianalisa dari semua sisi. Analisa kesalahkaprahan tentang paradigma bangsa Indonesia inilah, yang nantinya akan  menentukan di zona manakah Indonesia berada dan setinggi apakah tingkat kegalauan Indonesia seharusnya.

            Sebelum menuju ke inti dari analisa ini, mari kita coba terlebih dahulu menelaah lebih lanjut tentang arti dan makna mendalam dari kata suci “kemerdekaan”. Jika kita tanyakan ini ke pemuda-pemudi zaman sekarang saya sangat yakin jawabannya adalah, “Kemerdekaan merupakan suatu keadaan bebas dari Belanda dan Jepang,” atau mungkin “Kemerdekaan merupakan apa yang kita rayakan pada 17 Agustus tiap tahunnya”. Pengertian kemerdekaan yang sangat dangkal inilah yang membuat Indonesia tidak bisa menjadi negara maju sejak merdeka enam puluh tujuh tahun silam. Sebenarnya kemerdekaan memiliki pengertian yang sangat mendalam dan seharusnya pengertian ini harus ada di dalam sanubari tiap rakyatnya, terlebih lagi para pejabat yang sedang enak duduk di singgasananya. Berdasarkan hasil analisa penulis, suatu negara dikatakan merdeka jika negara tersebut telah mampu mengatasi segala halangan, rintangan, dan tantangan baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negara itu sendiri sehingga hasil usaha berkelanjutan ini dapat dirasakan sepenuhnya oleh rakyat dari tiap golongan dari negara tersebut dan atau rakyat dapat mendapatkan hak dari kemerdekaan yakni kemakmuran yang setingi-tingginya. Sekarang pertanyaannya adalah apakah Indonesia sudah bebas dari ancaman luar, apakah Indonesia sudah bisa mengatasi masalah dalam negerinya sendiri dan apakah tiap rakyat Indonesia sudah bisa merasakan buah manis hasil jerih payah perjuangan kemerdekaan. Tanda tanya besar di setiap titik zamrud khatulistiwa.

            Sekarang kita coba untuk menyimpan tanda tanya itu untuk sejenak dan mencoba menelik satu titik nila di penghujung rangkulan ibu pertiwi, wilayah tersayang namun terbuang, Papua.

            Papua, suatu wilayah dengan beribu nuansa menakjubkan yang telah mencengangkan dunia. Tidak percaya! Mari kita menyibak rahasia kekayaan anak ibu pertiwi satu ini. Dimulai dari hutan ajaibnya yang telah berperan penting sebagai salah satu paru-paru dunia; burung Cenderawasih dengan lembayung bulu yang elok dan mempesona; Raja Ampat, pecahan surga yang jatuh ke bumi; Carstenz Pyramide yang membelah cakrawala; Teluk Triton, kerajaan Dewa Neptunus di penghujung Indonesia; Pulau Owi, “An Island of Death” sebuah  mutiara yang menyimpan keajaiban; dan masih banyak lagi (Alam Papua, 2010). Kekayaan tersebut hanyalah daftar warisan yang kasat mata. Jika kita meneliti secara kritis, menengok lebih dalam dan lebih dalam lagi, sebenarnya si bocah satu ini menyembunyikan harta karun rahasianya jauh di dalam bumi nusantara. Tapi alangkah sayangnya, bangsa Indonesia sangat terlambat untuk menyadari rahasia yang menakjubkan ini. Entah mungkin karena terlalu disibukkan dengan urusan ekonomi ataupun politik hingga tidak sadar akan harta karun di kocek sendiri. Geolog Belanda, Jean-Jocques Dozy malah menjadi orang pertama yang dapat merasakan aura keajaiban di bumi Papua (Amiruddin, 2003, hal. 23).

            Jean-Jocques Dozy berhasil menemukan Ertsberg, Gunung Bijih Tembaga dengan ketinggian 75 meter di puncak Cartensz. Kemudian, Aura keajaiban Papua yang kian bergejolakpun dirasakan kembali oleh ilmuan lain, Forbe Wilson. Dia menemukan sesuatu yang lebih sensasional, bahwa sebenarnya Gunung Bijih Tembaga itu memiliki tinggi lebih fantastis yakni 179 meter ditambah lagi kedalamannya yang mencapai hingga 360 meter (Amiruddin, 2003, hal. 24). Suatu kombinasi angka yang sungguh sangat fenomenal. Kombinasi angka inilah yang kemudian menarik hati Amerika Serikat untuk segera mengeruk habis harta karun yang terbengkalai ini. Entah apa yang ada di pikiran pemerintah Indonesia, mereka yang pada saat itu duduk di singgasana hanya menganggukkan kepala terhadap hasrat licik negara super power satu ini. PT Freeport pun berdiri dengan kokohnya menancap di bumi Nusantara tercinta dan inilah tanda awal dimulainya dinasti penjajahan mode baru oleh PT Freeport di tanah Janggi “Isla de Ore”.

            PT Freeport sangat begitu berhasrat akan kekayaan harta karun Papua seperti termaktub pada pernyataan salah satu petingginya “Kami ingin berada di Irian Jaya untuk lebih dari 100 tahun,” (Milton H. Ward, Chairman of the Boards of Directors Freeport Indonesia Inc dalam Amiruddin. 2003). Mereka menganggap Gunung Bijih Tembaga layaknya surga kekayaan alam yang menunggu untuk dieksploitasi. Melalui pipa-pia raksasa di kota Grasberg-Tembagapura, enam miliar ton pasir tembaga digerus dan disalurkan sejauh 100 km ke Laut Arafuru, dimana kapal-kapal besar menunggu. Jika pengerukan sumber daya alam diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pelestarian keindahan alam, penulis berpendapat bahwa hal ini sah-sah saja (walaupun masih ada pertimbangan lain yang masih sangat memberatkan). Pendapat penulis ini mungkin senada nilai-nilai materiil dan vital Pancasila maupun Undang-Undang yakni ayat 3 pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Akan  Tetapi, ternyata fakta berkata lain. PT Freeport seolah tidak mau tahu tentang keadaan alam Papua. Yang terpenting bagi perusahaan ini hanyalah mengeruk sebanyak-banyak tanpa meninggalkan sisa. Akibatnya keindahan alam Papua yang bagaikan surga akhirnya porak-poranda. Hutan paru-paru dunia dianggap sebagai pengahalang habis ditebangi, belum lagi satwa-satwa tak berdosa di dalamnya. Sungai-sungai tercemar oleh lebih dari 300.000 ton tailing hasil buangan perusahaan ini yang membuat keadaan alam di sana berubah 180o. Buruknya lagi, konsesi pertambangan PT Freeport ini seolah selalu diperpanjang hingga tak tahu dimana ujungnya, membuat kerusakan alam berlipat ganda, membuat keindahan alam Pulau Cenderawasih ini sirna dengan sekejab oleh nafsu mengeruk kekayaan alam. Gambar ini di bawah ini mungkin cukup menggambarkan betapa bergairahnya PT Freeport untuk mengeksploitasi tambang Papua.

Peta Sebaran Izin Konsensasi Pertambangan

Sumber: Down to Earth Newsletter, edisi November 2011

            Penjajahan PT Freeport ternyata tidak berhenti pada keindahan alam Papua, kesejahterahan masyarakatnya ternyata juga sedang dipertaruhkan. Sebelum membahas lebih lanjut, gambar di bawah mungkin akan memberikan sedikit gambaran dan bukti bahwa sebenarnya Indonesia telah dibodohi.

Perjanjian Masyarakat Adat Domande

Sumber: Down to Earth Newsletter, edisi November 2011

            Melihat kekayaan alam Papua yang berlimpah, logikanya pasti  tingkat kemakmuran di sana akan mengalahkan tingkat kemakmuran di kota lain, Jakarta misalnya. Akan tetapi, fakta ternyata tidak pernah bersahabat dengan logika penulis. Di bidang ekonomi, pulau ini hanya mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 0,53 % pada tahun 2004 dan menempati urutan pertama sebagai wilayah termiskin di Indonesia (Widjojo, 2009, hal 13 dan 93). Tidak heran, masih sangat banyak orang Papua terutama anak-anaknya, kurus secara fisik, dekil, berbaju lusuh, dan tidak bersepatu. Tidak heran, masih banyak rakyat Papua yang hidup sebagai pengangguran, hidup sebagai pengais tailing yang ketakutan dengan ancaman security Freeport, walaupun sebenarnya mereka adalah orang yang punya hak lebih atas kepemilikan kekayaan Papua dibandingkan Raksasa Tambang Papua.

          Hal senada ternyata juga terjadi terhadap aspek pendidikan di Papua. Perbandingan antara jumlah sekolah dan siswa pada tahun 2006 adalah 1:63 untuk Sekolah Dasar, 1: 238 untuk SLTP, dan 1:316 untuk SMA. Tetapi, alangkah malangnya perbandingan antara sekolah dan siswa pada tahun yang sama adalah 1:7 untuk Sekolah Dasar, 1:10 SLTP, dan 1:15 untuk SMA (Widjojo, 2009, hal 99). Secara garis besar dapat dianalisan bahwa dengan jumlah siswa 1434 maka guru yang tersedia hanyalah 32 orang. Kombinasi angka ini sangat tidak memungkinkan bagi Papua untuk mencetak generasi-generasi dengan tingkat intelektual tinggi. Tidak heran, tingkat buta huruf di Provinsi ini masih sangat tinggi. Tidak heran, provinsi ini masih berjongkok di urutan bawah hampir disetiap perhelatan Olimpiade Sains Nasional, ditinggalkan jauh oleh Jakarta, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Tidak heran tingkat penderita HIV/AIDS Papua mencapai angka 1500 pada tahun 2003 (Widjojo, 2009, hal 102). Pertanyaannya adalah dimanakah letak pengaplikasian perjanjian seperti yang terpampang pada gambar di atas. Kemanakah pemerintah memalingkan mukanya terhadap permasalahan besar di Papua ini. Kenapa pemerintah seolah tidak mau tahu tentang kondisi Papua sekarang ini. Dan terakhir yang masih membuat penulis bertanya-tanya adalah dimanakah pengaplikasian nilai-nilai sakral Pancasila dan Undang-Udang Dasar 1945 terutama pasal 33 ayat 3. Kenapa mereka berdua seolah tenggelam dalam hening di dunia antah berantah.

          Analisa terhadap tingkat ekonomi dan pendidikan Papua di atas, telah cukup membuktikan betapa lemahnya Negara kita. Lemahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh PT Freeport untuk melakukan beberapa peniupuan publik. Pertama, entah disadari atau tidak, PT Freeport tidak hanya menambang tembaga. Perusahaan ini ternyata juga menambang emas dan uranium, suatu unsur yang sungguh sangat bernilai (Imawan.-). Nama kota Tembagapura hanyalah taktik PT Freeport yang digunakan untuk menciptakan suatu sense atau paradigma yang sebenarnya adalah suatu pembodohan. Selain itu, perlu diketahui bahwa pendapatan kontrak Freeport dari pajak dan non-pajak sepanjang 2005 adalah 800 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun. Angka 800 juta dollar AS ini terlalu kecil. Lihat kompensasi (bukan gaji) tiap tahun untuk Chairman of the Board Freeport sebesar 9.509.183 dollar AS; Chief of Administrative Officer 1.756.159 dollar AS; Chief Operating Officer 815.554 dollar AS; dan President Director of Freeport Indonesia 1.641.877 dollar AS. Untuk kompensasi empat pejabat Freeport saja jumlahnya 13.722.773 dollar AS (Imawan, -). Disadari atau tidak, data ini sudah sangat membuktikan ketidakmampuan Indonesia untuk mengemas sumber daya alamnya sendiri. Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai perisai kapitalis oleh Negara Super Power Amerika Serikat. Selain itu, data ini juga sekaligus membuktikan bahwa Indonesia bukanlah Negara yang mandiri, bukan lagi Negara yang berdikari seperti apa yang selalu dikumandangkan Soekarno dalam setiap pidatonya.

          Sekarang, setelah menganalisa sebutir kasus di penghujung rangkulan pertiwi, mari kita kembali ke suatu pertanyaan besar di awal essay ini. Apakah Indonesia sudah merdeka? Apakah Indonesia mampu menangani masalah di dalam negeri sendiri? Apakah Indonesia sudah mandiri ataupun berdikari? Apakah Indonesia tidak lagi bergantung dengan Negara kolega? Apakah Indonesia mampu mensejahterakan rakyatnya. Waktunya Indonesia Menggalau. Andalah, generasi muda Indonesia, yang mampu menjawabnya. Andalah, generasi muda Indonesia, yang mampu mengganti tanda tanya besar ini dengan tanda koma, kemudian kembali menorehkan tinta-tinta emas di balada yang masih belum terselaikan, melanjutkan semangat juang pahlawan terdahulu. Dengan jiwa pancasila, mengisi relung-relung kekosongan dengan titik-titik terang, mengembalikan kejayaan yang telah lama terpendam, membawa Indonesia ke dimensi yang gemilang.

Referensi:

Alam Papua. 2010. Keindahan Alam Papua,

http://papua-paradise.blogspot.com/ (diakses pada tanggal 13 September 2012).

Amiruddin, Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer. Yogyakarta: Insist Press.

Down to The Earth. 2011. Tanah Papua: Perjuangan yang Berlanjut untuk Tanah dan Penghidupan. -:DTE.

Imawan, Riswandha. -. Di Bawah Gunung Kemakmuran,

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5608&coid=1&caid=59&gid=3 (diakses pada tanggal 13 September 2012).

Widjojo, Muridan S. 2009. Papua Road Maps. Jakarta: KITLV.

Tentang Penulis

Nama    : Midiriyanto

Kelas     : XII Science 3

Sekolah : SMAN Sumatera Selatan

By midiictigcsegoblog

Puisi Paling Singkat

Oleh: Midi Riyanto

Ini dia contoh puisi paling singkat yang dibuat oleh teman gua. Gak tahu dapat inspirasi dari mana atau mungkin ini adalah suatu power of kepepet. Tapi, keluar dari semua itu puisi mengandung makna yang sangat dalam dan kontroversial di kelas ku. Ini dia puisinya…

Indonesiaku (judul)

MERDEKA!!!

Karya

Dimas Haris Rifai

Nah, mau lihat photonya,

By midiictigcsegoblog

Lagi, SMAN SUMSEL Juara 1 Mading

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh: Midiriyanto

Ide kreatifitas bisa datang kapan dan dimana saja. Inilah motto dari peserta Lomba Mading wakil dari SMA Negeri Sumatera Selatan Sampoerna Academy. Dan dengan motto inilah mereka kembali berhasil merebut juara 1 lomba Mading di SMA 6 setelah sebelumnya berhasil meraih gelar juara ketika berlaga di RRI.

Continue reading

By midiictigcsegoblog
Aside

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh: Midiriyanto

Classmeeting tahun 2011 ini adalah classmeeting yang paling mengesankan bagi gue. Di sini gue mendapatkan pengalaman yang sangat mendalam. Di sini gua belajar bahwa menjadi juara bukanlah segalanya. Kebersamaanlah yang terpenting. Tertawa bersama. Bernyanyi bersama

CLASS MEETING

By midiictigcsegoblog